Alhamdulillah..

Kamis, 24 Februari 2011

Kultwit Salim A. Fillah tentang #Hukum

1. Umar sedang duduk beralas surban di bebayang pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Sahabat di sekelilingnya bersyuraa bahas aneka soal. #Hukum
2. Tiga orang muda datang menghadap; 2 bersaudara berwajah marah yang mengapit pemuda lusuh nan tertunduk dalam belengguan mereka. #Hukum
3. “Tegakkan keadilan untuk kami hai Amiral Mukminin”, ujar seorang, “Qishash-lah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatannya!” #Hukum
4. Umar bangkit. “Bertaqwalah pada Allah”, serunya pada semua. “Benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?”, selidiknya. #Hukum
5. Pemuda itu menunduk sesal. “Benar wahai Amiral Mukminin!”, jawabnya ksatria. “Ceritakanlah pada kami kejadiannya!”, tukas Umar. #Hukum
6. “Aku datang dari pedalaman yang jauh”, ungkapnya, “Kaumku mempercayakan berbagi urusan muamalah untuk kuseslesaikan di kota ini.” #Hukum
7. “Saat sampai”, lanjutnya, “Kutambatkan untaku di satu tunggul kurma, lalu kutinggalkan ia. Begitu kembali, aku terkejut & terpana” #Hukum
8. “Tampak olehku seorang lelaki tua sedang menyembelih untaku di lahan kebunnya yang tampak rusak terinjak & ragas-rigis tanamannya” #Hukum
9. “Sungguh aku sangat marah & dengan murka kucabut pedang hingga terbunuhlah si bapak itu. Dialah rupanya ayah kedua saudaraku ini.” #Hukum
10. “Wahai Amiral Mukminin”, ujar seorang penggugat, “Kau telah dengar pengakuannya, dan kami bisa hadirkan banyak saksi untuk itu.” #Hukum
11. “Tegakkanlah had Allah atasnya!”, timpal nan lain. Umar galau & bimbang setelah mendengar lebih jauh kisah pemuda terdakwa itu. #Hukum
12. “Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih & baik”, ujar ‘Umar, “Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat” #Hukum
13. “Izinkan aku”, ujar Umar, “Meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan Diyat atas kematian ayahmu.” #Hukum
14. “Maaf hai Amiral Mukminin”, potong kedua pemuda dengan mata masih nyala memerah; sedih & marah, “Kami sangat sayangi ayah kami.” #Hukum
15. “Bahkan andai harta sepenuh bumi dikumpulkan tuk buat kami kaya”, ujar salah satu, “Hati kami hanya kan ridha jiwa dibalas jiwa!” #Hukum
16. Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur, & bertanggungjawab; tetap kehabisan akal yakinkan penggugat #Hukum
17. “Wahai Amiral Mukminin”, ujar pemuda tergugat itu dengan anggun & gagah, “Tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah Qishash atasku.” #Hukum
18. “Aku ridha pada ketentuan Allah”, lanjutnya, “Hanya saja izinkan aku menunaikan semua amanah & kewajiban yang tertanggung ini.” #Hukum
19. “Apa maksudmu?”, tanya hadirin. “Urusan muamalah kaumku”, ujar pemuda itu, “Berilah aku tangguh 3 hari untuk selesaikan semua.” #Hutang
20. “Aku berjanji dengan nama Allah yang menetapkan Qishash dalam Al Quran, aku kan kembali 3 hari dari sekarang tuk serahkan jiwaku” #Hukum
21. “Mana bisa begitu!”, teriak penggugat. “Nak”, ujar ‘Umar, “Tak punyakah kau kerabat & kenalan yang bisa kau limpahi urusan ini?” #Hukum
22. “Sayangnya tidak hai Amiral Mukminin. Dan bagaimana pendapatmu jika kematianku masih menanggung hutang & tanggungan amanah lain?” #Hukum
23. “Baik”, sahut ‘Umar, “Aku memberimu tangguh 3 hari; tapi harus ada seseorang yang menjaminmu bahwa kau tepat janji tuk kembali.” #Hukum
24. “Aku tak memiliki seorangpun. Hanya Allah, hanya Allah, yang jadi penjaminku wahai orang-orang yang beriman padaNya”, rajuknya. #Hukum
25. “Harus orang yang menjaminnya!”, ujar penggugat, “Andai pemuda ini ingkar janji, dia yang kan gantikan tempatnya tuk di-Qishash!” #Hukum
26. “Jadikan aku penjaminnya hai Amiral Mukminin!”, sebuah suara berat & berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Itu Salman Al Farisi. #Hukum
27. “Salman?”, hardik Umar, “Demi Allah engkau belum mengenalnya! Demi Allah jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!” #Hukum
28. “Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu ya Umar”, ujar Salman, “Aku percaya padanya sebagaimana engkau mempercayainya” #Hukum
29. Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu & menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman baginya. Tiga hari berlalu sudah. #Hukum
30. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah mondar-mandir. Penggugat mendecak kecewa #Hukum
31. Semua hadirin sangat khawatirkan Salman. Sahabat perantau negeri-pengembara iman itu mulia & tercinta di hati Rasul & sahabatnya. #Hukum
32. Mentari di hari batas nyaris terbenam; Salman dengan tentang & tawakkal melangtkah siap ke tempat Qishash. Isak pilu tertahan. #Hukum
33. Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit & nyaris merangkak. “Itu dia!”, pekik Umar #Hukum
34. Pemuda itu dengan tubuh berkuah peluh & nafas putus-putus ambruk ke pangkuan Umar. “Maafkan aku!”, ujarnya. “Hampir terlambat.” #Hukum
35. “Urusan kaumku makan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun & terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari..” #Hukum
36. “Demi Allah”, ujar Umar sambil menenangkan & meminumi, “Bukankah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?” #Hukum
37. “Supaya jangan sampai ada yang katakan”, ujar terdakwa itu dalam senyum, “Di kalangan muslimin tak ada lagi ksatria tepat janji.” #Hukum
38. “Lalu kau hai Salman”, ujar Umar berkaca-kaca, “Mengapa mau-maunya kau jadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama-sekali?” #Hukum
39. “Agar jangan sampai dikatakan”, jawab Salman teguh, “Di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya & menanggung beban saudara” #Hukum
40. “Allahu Akbar!”, pekik 2 pemuda penggugat sambil memeluk terdakwanya, “Allah & kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya” #Hukum
41. “Kalian”, kata Umar makin haru, “Apa maksudnya? Jadi kalian memaafkannya? Jadi dia tak jadi di-Qishash? Allahu Akbar! Mengapa?” #Hukum
42. “Agar jangan ada yang merasa”, sahut keduanya masih terisak, “Di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan & kasih sayang.” #Hukum
43. Demikian kisah kasus #Hukum di zaman Umar. Salim pamit sejenak mau silaturrahim ke seorang Gurunda. InsyaaLlah nanti lanjut zaman Ali;)
44. Kasus #Hukum zaman Ali menarik jua; sengketa penguasa — minoritas. Tapi esok pagi saja ya Shalih(in+at), insyaaLlah. Baru asyik berilmu;)
45. Baju besi milik Ali ibn Abi Thalib satu waktu terselingsut saat persiapan tempur. Berikutnya, ia terlihat dipakai seorang Yahudi. #Hukum
46. Ali sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah si Yahudi dengan santun, “Saudara, setelan dzir’a itu milikku!” #Hukum
47. “Jika ia melekat pada tubuhku”, tukas si Yahudi berkacak pinggang, “Maka ia adalah milikku. Anda tak bisa mendaku sembarangan.” #Hukum
48. “Sebab aku sangat mengenali milikku, dan kau hanya mendaku dengan bukti lekatnya ia di tubuhmu, bagaimana kalau kita ber-tahkim?” #Hukum
49. Setelah berfikir sejenak, si Yahudi menjawab, “Aku setuju. Tapi siapa yang akan menjadi hakim urusan ini?” Kata Ali, “Syuraih!” #Hukum
50. “Apakah dia bisa berbuat adil, di mana aku seorang Ahli Kitab sedang engkau Amirul Mukminin?”, selidik si Yahudi. #Hukum
51. “Demi yang mengutus Musa dengan Taurat”, ujar Ali, “Aku yang akan pertama-tama meluruskannya dengan pedang jika dia bengkok.” #Hukum
53. Maka pergilah mereka kepada Kadi Syuraih. “Selamat datang wahai Amirul Mukminin!”, sambut Syuraih. Dia menanyai kedua pihak. #Hukum
54. “Sudah 3 ketidakadilan kurasakan sejak masuk majelismu hai Syuraih!”, tegur Ali. “Luruskanlah atau kelayakanmu mengadili batal!” #Hukum
55. “Pertama kau panggil aku dengan gelar, sementara dia hanya nama. Kedua kau dudukkan aku di sisimu, sementara dia di hadapan kita” #Hukum
56. “Ketiga, kau biarkan aku menjawab tanpa bantahan. Sedang jawaban dia kau pertanyakan lagi.” Si Yahudi heran dengan keberatan Ali. #Hukum
57. Setelah beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata, “Amiral Mukminin, ini memang baju besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq..” #Hukum
58. “Tapi untuk memutuskan bahwa ia memang milikmu”, lanjut Syuraih, “Aku tetap membutuhkan kesaksian 2 orang lelaki adil.” #Hukum
59. “Maka inilah Hasan & pelayanku Qanbur sebagai saksiku!”, ujar Ali. “Qanbur bisa kuterima”, jawab Syuraih, “Tapi Hasan tidak.” #Hukum
60. “Kesaksian seorang anak untuk ayahnya tidak dapat diterima oleh pengadilan ini!”, tegas Syuraih. Ali tercenung sejenak. #Hukum
61. “Tapi tidakkah kau mendengar”, sanggah Ali, “Umar berkata bahwa Rasul bersabda; Al Hasan & Al Husain itu penghulu pemuda surga?” #Hukum
62. “Maaf”, kata Syuraih sambil tersenyum, “Aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu bisa mengecualikan dalam hak persaksian.” #Hukum
63. Maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu menjadi milik si Yahudi sebab Ali gagal menghadirkan 2 saksi untuk pendakuannya. #Hukum
64. Ujung kisah ini kita hafal: tersentuh, si Yahudi masuk Islam, dan hendak kembalikan baju besi yang memang adalah milik Ali itu. #Hukum
65. Ali menolak. “Tidak”, katanya, “Kau sekarang saudaraku, maka itu -juga kuda ini- hadiah dariku agar tumbuh cinta di antara kita.” #Hukum
66. Kisah ini terdapat dalam Hilyatul Auliya-Abu Nu’aim, Subulus Salam-Ash Shan’ani, Akhbarul Qudhah-MUhammad ibn Khalaf, dll. #Hukum
67. Beberapa ‘ulama hadits muataakhirin enggan menerimanya sebab meski ada 3 jalur periwayatan ada sedikit cela dalam tiap sanadnya. #Hukum
68. Memang, andai standar pensahihan hadits diterapkan tuk Tarikh, kita akan kehilangan 3/4 sejarah Islam, ujar Abul A’la Al Maududy. #Hukum
69. Maka sanad kisah ini masih ‘termaafkan’. Hm, untuk kita ambil sebagai ibrah bahwa penegakan #Hukum tetaplah harus kaku & prosedural ;P
70. Baik dari kisah Umar maupun Ali, tampak #Hukum sebagai sistem tetap harus tegak prosedurnya, meski awal-awal rasa keadilan agak terusik.
71. Sebab ‘rasa’ terlalu mudah dimainkan tuk kepentingan. Ada kaidah; “Nahnu nahkumu bizh zhawaahir, kita ber #Hukum dengan apa nan tampak.”
72. Pada sisi itu, akhirnya saya mengapresiasi juga Ibunda Albertina Ho dkk; prosedur sudah dijalankan. Idealisme kita tentang KUHP.. #Hukum
73. …yang lebih baik -semisal gemas hati untuk berlakukan potong tangan bagi Gayus ;P - masih harus diperjuangkan dengan prosedural #Hukum
74. Selebihnya, membaikkan perilaku penegak #Hukum; (dalam kisah Umar & Ali kita temukan faktor ini pegang kunci happy-ending nya perkara).
75. Membaikkan #Hukum negeri ini masih panjang jalannya, sedikit pejuangnya, banyak bahayanya, lelahkan jiwa. Tapi teruslah, dan senyumlah;)

-end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar