Alhamdulillah..

Sabtu, 12 Maret 2011

UKHUWAH HIDAYAH


Adalah kisah,  antara Umar, Hudzaifah dan ‘Ali. Di suatu sore, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Hudzaifah?” tanya Umar. “Wahai Amirul Mu’minin,” jawabnya, “pagi ini aku mencintai fitnah, membenci al haq, shalat tanpa wudhu, dan kumiliki sesuatu di bumi yang tidak dimiliki oleh Allah di langit.” Maka Umar marahlah mendengar jawab Hudzifah. Hudzaifah terdiam, tersenyum pada ‘Ali. Maka kata ‘Ali,”..Sungguh benar Hudzaifah, dan akupun seperti dirinya. Adapun kecintaannya pada fitnah,” lanjutnya, ”maksudnya harta dan anak-anak. Sebagaimana firman Allah : “Sesunguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah cobaan.” [QS At Taghaabun 64:15]
“Adapun kebenciannya terhadap al haq, maksudnya adalah dia benci kematian. Shalatnya yang tanpa wudhu adalah shalawat kepada Nabi saw. Adapun yang dimilikinya di bumi dan tidak dimiliki Allah di langit, adalah istri dan anak. Bukankah Allah tak memiliki keduanya?”
(dari Buku “Dalam dekapan Ukhuwah” ustadz Salim. A. Fillah – dengan sedikit perubahan)
***
“Dalam berukhuwah,
 alangkah indah,
bilakan kita saling berbagi hikmah,
lahirkah amal hidayah,
mati  khusnul khotimah,
berbuahkan jannah..”
Kata Nabi saw. dalam riwayat Bukhari, “Perumpamaan teman yang baik dan buruk adalah laksana penjual minyak misik dan seorang pandai besi. Dari penjual minyak misik, kadangkala engkau kan diberinya, atau engkau membeli minyak tersebut darinya, atau engkau akan memperoleh semerbak harum darinya. Sedangkan seorang pandai besi, bila percikkan apinya tidak membakar bajumu, maka kau akan menemukan bau tidak sedap darinya.”
Maka di sini, kita harus bersungguh diri dalam berkawan, dalam ber-ukhuwah. “Sungguh, bersempat membersamai orang-orang shalih adalah anugerah indah dari Ilahi. Maka janganlah siakan bila kau punya kawan nan shalih. Namun, terkadang, bersendiri mengasing diri, adalah lebih baik daripada berkawan mesra dengan kawan berperilaku cela.”
Bilakan ada, seorang kawan dari kita, yang mungkin kita anggap ia shalih, maka tak perlu ragu tuk mendekatinya, “memanfaatkankan”-nya. Barangkali kebaikan-kebaikan darinya dapat kita contoh tuk kita amalkan dalam keseharian. Dan janganlah sampai (bila kita tahukan keburukan-keburukannya) kita mengata padanya, “Ah, tak perlulah engkau berlagak sok suci! Gak usah munafik deh!” Karna, bisa jadilah ia dalam kesungguhan tuk lakukan perbaikan dalam pertaubatan. Dan bila itu diri kita yang dikata demikian, saat diri kita diajak tuk bermaksiat dan kita menolak, maka katakan dengan penuh kelembutan, “Maafkan aku kawan, bukannya sok suci ataupun berlagak munafik, tapi sudah terlalu banyak dosa diri ini.”
-- Maka, dimanakah posisi kita, siapakah kita? Siapakah kita di antara posisi keduanya? --
Mengapa perlu kehati-hatian nan penuh? Karna kita di dunia ini tak bisa luput dari pertemanan itu sendiri. Dan yakinlah kita, bahwa kawan dapat membawa kita, ke arah kebaikan ataupun ke arah keburukan. (Bukankah tlah kita buktikan sendiri?). Sebagaimana kata ‘Ali, “ Janganlah kalian berteman dengan orang yang sering bermaksiat, karena tindakannya akan menghiasi dan mempengaruhi  tindakanmu, dan ia pun senang jika  engkau mengikut jejaknya.”
Kata  Nabi saw., sebagaimana yang tlah diriwayatkan al Hakim,“Seseorang dapat dinilai darinkadar agama temannya,. Oleh karenanya, hendaklah salah satu dari kalian meneliti dahulu siapa yang akan  ia jadikan teman.”
***
Dalam kisah di atas, tentang Umar, Hudzaifah dan Ali, adalah dapat kita ambil hikmahnya. Sungguh, alangkah indah bilakan kita mempunyai kawan nan mulia, diamnya menjadi tasbih, bicaranya ilmu, ucapannya penuh doa. Tak ada yang sia-sia, bahkan dalam candanya terkandung hikmah nan luar biasa, sangat dalam..
***
Maka, kata Allah dalam firman suciNya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [QS At Taubah 9:119]
Jadi, membersamai orang-orang nan shalih penuh hikmah, adalah sebuah perintah bagi tiap-tiap hambaNya, dan termasuklah hal itu di dalam ibadah bilakan kita melakukannya dengan penuh keimanan.
Akan tetapi, bilakan kita berpunya kawan, yang pada kebiasaannya sangat baik-akrab pada kita, tapi pada suatu masa ia diamkan kita, maka tetaplah husnudzon! Kerna itu adalah lebih baik untuk kita. Dan merenunglah! Mungkin diri kita memang tersalah..”

***
Bertemankan, hingga kita menjadi sarana hidayah.. sungguh indah. Baik kita yang menjadi sarana hidayah bagi teman kita, ataupun teman kitalah yang menjadi sarana ibadah untuk kita, keduanya adalah sama indahnya.
“Siapa yang melakukan/memfasilitasi kebaikan,” kata Sang Nabi saw dalam sabdanya,”maka untuknya pahala kebaikan tersebut dan seluruh pahala orang lain yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi pahala yang mereka dapat”.“Dan Siapa yang melakukan/memfasilitasi keburukan,” lanjut Sang Nabi,” Maka untuknya dosa keburukan   tersebut dan seluruh dosa orang lain yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa yang mereka dapat.”


Bicara ukhuwah, bicara cinta. Maka dari itulah, marilah kita berteman, dan saling mencintainya karena Allah.
Tentulah kita sangat yakin akan kemuliaan mencinta karena Allah. Sebagaimana Sabda Sang Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah, “Sebilangan manusia yang dinaungi Allah di bawah naungan-Nya padahari kiamat, yaitu hari yang tiada sebarang naungan padanya selain daripada naungan Allah; di antaranya adalah ...dua orang yang berkasih sayang karena Allah , di mana kedua-duanya berkumpul dan berpisah untuk mendapat keredhoan Allah...”
Dan di dalam hadits qudsi, “Orang-orang yang berkasih sayang kerena kemuliaan-Ku, mereka mempunyai beberap-beberapa mimbar cahaya, sangat dicita-citakan tempat-tempat mereka itu oleh para Nabi, Shaddiqin dan Syuhada.” (Riwayat At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim)
 “Seseorang itu,” kata Sang Nabi,”Akan membersamai dengan siapa yang ia cintai.” Sekali lagi, bila kita mencinta, kita kan membersamainya di akhirat sana. Semoga kita kan terbimbing tuk mencinta orang yang dicintaiNYa.


-ingatkan bila tersalah-
@duwisusilo

Ref: dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar